Rabu, 24 Juli 2013

TINJAUAN HUKUM TERHADAP KLAUSUL EKSENORASI JASA PELAYANANAN PARKIR

BAB I

A.  Pendahuluan

Dalam perdagangan baik barang maupun jasa, terdapat kontrak baku yang dibuat hanya oleh sepihak, pada umumnya kontrak baku tersebut dibuat oleh pelaku usaha dan pihak lain hanya setuju atau tidak setuju (take it or leave it), meskipun ketentuan klausul dalam kontrak baku telah diatur dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, namun masih banyak pelaku usaha yang mengesampingkan ketentuan tersebut.
Sebagai contoh dalam perdagangan barang kerap tertulis “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” hal ini kerap ditemukan hamper disetiap tempat penjualan barang-barang seperti toko, pasar dan tempat perbelanjaan lainnya. Dan bukan hanya itu perusahaan jasa pelayanan parkir kerap klausula yang sama, karena pada umumnya pengelolaan parkir memuat ketentuan baku yang telah dibuatkan sebelumnya secara sepihak. Ketentuan-ketentuan yang mengatur (general terms and conditions) pada perjanjian parkir terdapat dan tercetak pada lembaran kartu parkir yang diterima oleh konsumen. Ketentuan yang mengatur hak-hak dan kewajiban antara konsumen (dalam hal ini dapat dipersamakan dengan  kreditur jasa pelayanan parkir) dan Perusahaan (dalam hal ini dapat dipersamakan dengan debitur yang menyediakan jasa pelayanan parkir), perjanjian tersebut telah diberlakukan sepihak dan dianggap diterima oleh pihak lain seketika pihak lain tersebut menerima penawaran (accept the offer) jasa dimaksud. Dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dinyatakan bahwa Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Prosedur baku dalam pelayanan jasa parkir adalah konsumen menerima secarik tiket atau kertas sebagai bukti telah menyewa ruang dalam area lahan parkir tersebut dan menitipkan kendaraaanya demi keamanan. Dibalik kertas atau tiket tersebut umumnya dicantumkan beberapa klausula baku, namun salah satu klausula tersebut umumnya berbunyi “pengelola parkir tidak bertanggung jawab atas segala kerusakan dan kehilangan dalam bentuk apapun”. Mengingat kedudukan para pihak dalam penentuan terms and conditions perjanjian baku tidak seimbang, dimana satu pihak (dalam hal ini konsumen) berada pada posisi take it or leave it, maka makalah ini mencoba untuk menguraikan perjanjian baku yang dibuat dalam ketentuan perkir.

B.  Permasalahan

  1. Apakah perjanjian baku yang dibuat pengusaha jasa pelayanan parkir memenuhi ketentuan klausul dalam ketentuan kontrak baku yang diatur dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999
  2. Apakah terms and conditions pada klausul  parkir yang cenderung lebih memberatkan kepada konsumen?

C.  Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah metode yuridis normative dengan mengumpulkan data-data kepustakaan dan informasi internet.



BAB II

KERANGKA TEORI

A.      Kontrak Baku

Ketentuan mengenai Kontrak baku tertuang dalam pasal 18 UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
(1)   Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a.       menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.      menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.       menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.      menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.       mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
f.       jasa yang dibeli oleh konsumen;
g.       memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
h.      menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
i.        menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2)   Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3)   Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4)   Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undangundang ini.
Dengan adanya perkembangan dalam dunia perdagangan, kebutuhan kontrak baku, atau yang dalam Bahasa Inggrisnya standard contract, menjadi sangat penting. Menurut Munir Fuady, yang dimaksud kontrak baku adalah:1 …suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya…
Pihak yang disodorkan kontrak baku tidak memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi atau berada dalam posisi “take it or leave it,” atau bahkan terkadang klausul dalam kontrak tersebut berat sebelah atau memihak karena dibuat oleh salah satu pihak dan bukan hasil dari negosiasi sebelum tercapainya kata sepakat.
Hal dimaksud di atas sejalan dengan pendapat dari Hood Philips, terkait dengan hubungan produsen dan konsumen, yaitu “These contracts (standard contracts) are of the take-it or leave-it kind, for here the customer cannot bargain over the terms: his only choice is to accept the terms in toto or to reject the service altogehter.[2]
Dari uraian di atas, karakter dari suatu kontrak baku, kriterianya yaitu:[3]
a.                Isi kontrak telah ditetapkan secara tertulis dalam bentuk yang digandakan;
b.    Penggandaan kontrak dimaksudkan untuk melayani permintaan para konsumen yang berfrekuensi tinggi (sering dan banyak/massal);
c.            Konsumen dalam banyak hal menduduki posisi tawar-menawar (kedudukan transaksional) yang lebih rendah daripada produsen.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract”. Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran.[4]
Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian baku dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :[5]
a.    Perjanjian baku sepihak atau perjanjian adhesi adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur.
b.    Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditor) dan pihak lainnya buruh (debitor). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
c.    Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah.
d.   Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan

Selain kelemahan kontrak baku sebagaimana disebutkan di atas, ada juga kelebihan-kelebihan dari kontrak baku. Salah satu kelebihan dari kontrak baku misalnya dalam bisnis yang melibatkan kontrak dalam jumlah yang banyak, sehingga untuk mengefisienkan waktu diperlukan standardisasi kontrak. Bagi dunia bisnis, kontrak baku sangat diperlukan karena mempermudah operasi bisnis dan mengurangi ongkos-ongkos.
Kemudian, mengenai implikasi dari penggunaan kontrak baku pada asas kebebasan berkontrak, dapat dilihat pada saat kemunculan perusahaan-perusahaan multi-nasional sebagai akibat adanya revolusi industri. Dalam melakukan kegiatan usahanya, perusahaan multi-nasional tersebut menggunakan kontrak baku yang membatasi kebebasan berkontrak dan kesederajatan para pihak yang notabene merupakan roh dari asas kebebasan berkontrak.
Dalam perjalanannya, kemudian berkembang paham negara kesejahteraan (welfare state) yang menyebabkan makin besarnya keikutsertaan negara dalam mengatur kehidupan masyarakat, yang kemudian diikuti oleh munculnya berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh negara (pemerintah). Hal di atas mengakibatkan peran asas kebebasan berkontrak menjadi berkurang atau bahkan tidak dapat diwujudkan di dalam suatu perjanjian, sekalipun perjanjian tersebut terjadi antara para pihak yang keduanya individu.
Adapun contoh-contoh dari kontrak baku antara lain yaitu:
a.       Kontrak pengusahaan sumber daya alam;
b.      Kontrak (polis) asuransi;
c.       Kontrak di bidang perbankan;
d.      Kontrak sewa guna usaha;
e.       Kontrak jual beli rumah/apartemen dari perusahaan real estate;
f.       Kontrak sewa menyewa gedung perkantoran;
g.       Kontrak pembuatan kartu kredit;
h.       Kontrak pengiriman barang;
i.        Dan lain-lain.

B.       ASAS-ASAS DALAM KONTRAK

Asas-asas dalam hukum kontrak antara lain:
1.        Hukum kontrak bersifat mengatur
Hukum dilihat dari daya mengikatnya, umumnya dibagi atas dua kelompok, yaitu: 
a.       Hukum bersifat memaksa maksudnya adalah kaidah-kaidah hukum yang dalam keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan. Hukum memaksa ini wajib diikuti oleh setiap warga negara dan tidak dimungkinkan membuat aturan yang menyimpang dari aturan-aturan yang ditetapkan dalam hukum yang bersifat memaksa. Hukum memaksa ini umumnya termasuk dalam bidang hukum publik.
b.      Hukum bersifat mengatur maksudnya hukum yang dalam keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat pengaturan tersendiri yang disepakati oleh para pihak tersebut. Hukum bersifat mengatur ini umumnya terdapat dalam lapangan hukum perjanjian/ hukum kontrak (Buku III KUH Perdata). Jadi, dalam hal ini, jika para pihak mengatur lain,maka aturan yang dibuat oleh para pihaklah yang berlaku.
2.         Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
Asas ini merupakan konsekuensi dari sifat hukum kontrak yang sifatnya sebagai hukum mengatur. Asas freedom of contract mengandung pengertian bahwa para pihak bebas mengatur sendiri isi kontrak tersebut. Meskipun demikian, kebebasan melakukan kontrak tidak bersifat sebebas bebasnya.
Dalam sistem hukum perjanjian di Indonesia, kebebasan para pihak dalam melakukan kontrak dibatasi sepanjang kontrak tersebut ;
a.         memenuhi syarat sebagai suatu kontrak ;
b.        tidak bertentangan dengan undang-undang, kepatutan/ kesusilaan dan ketertiban umum ;

3.        Asas facta sunt servanda
 Asas facta sunt servanda berarti perjanjian bersifat mengikat secara penuh karenanya harus ditepati. Hukum kontrak di Indonesia menganut prinsip ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata.Pasal 1338 KUH Perdata “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya.”[6] Berdasarkan Pasal ini, daya mengikat kontrak sama seperti undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya.

4.        Asas Konsensual
Asas ini mempunyai pengertian bahwa suatu kontrak sudah sah dan mengikat pada saat tercapai kata sepakat para pihak, tentunya sepanjang kontrak tersebut memenuhi syarat sah yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perlu diingat bahwa asas konsensual tidak berlaku pada perjanjian formal.  Perjanjian formal maksudnya adalah perjanjian yang memerlukan tindakantindakan formal tertentu, misalnya Perjanjian Jual Beli Tanah, formalitas yang diperlukan adalah pembuatannya dalam Akta PPAT. Dalam perjanjian formal, suatu perjanjian akan mengikat setelah terpenuhi tindakan-tindakan formal dimaksud.

5.        Asas Obligatoir
Maksud asas ini adalah bahwa suatu kontrak sudah mengikat para pihak seketika setelah tercapainya kata sepakat, akan tetapi daya ikat ini hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban para pihak. Pada tahap tersebut hak milik atas suatu benda yang diperjanjikan (misalnya perjanjian jual beli) belum berpindah. Untuk dapat memindahkan hak milik diperlukan satu tahap lagi, yaitu kontrak kebendaan (zakelijke overeenkomst). Wujud konkrit kontrak kebendaan ini adalah tindakan penyerahan (levering) atas benda yang bersangkutan dari tangan penjual ke tangan pembeli. Taahapan penyerahan ini penting untuk diperhatikan karena menimbulkan konsekuensi hukum tertentu. Misalnya dalam suatu perjanjian jual beli barang belum diserahkan kepada pembeli, jika barang tersebut hilang atau musnah, maka pembeli hanya berhak menuntut pengembalian harga saja, akan tetapi tidak berhak menuntut ganti rugi, karena secara hukum hak milik atas benda tersebut belum berpindah kepada pembeli. Hal ini dikrenakan belum terjadi kontrak kebendaan berupa penyerahan benda tersebut kepada pembeli. Berbeda jika benda tersebut sudah diserahkan kepada pembeli dan selanjutnya dipinjam oleh penjual, maka jika barang tersebut rusak atau musnah maka pembeli berhak menuntut pengembalian harga dan ganti rugi.  Sifat obligatoir ini berbeda dengan asas hukum kontrak yang diatur dalam Code Civil Prancis. Menurut Code Civil Prancis, hak kepemilikan turut berpindah ketika kontrak telah disepakati.
6.        Asas Keseimbangan
Maksud asas ini adalah bahwa kedudukan para pihak dalam merumuskan kontrak harus dalam keadaan seimbang. Pasal 1321 KUH Perdata menyebutkan bahwa tiada kata sepakat dianggap sah apabila diberikan karena kekhilafan, keterpaksaan atau penipuan.

C.      KLAUSUL EKSENORASI

Eksonerasi atau exoneration (Bahasa Inggris) diartikan oleh I.P.M. Ranuhandoko B.A. dalam bukunya “Terminologi Hukum Inggris-Indonesia”yaitu “Membebaskan seseorang atau badan usaha dari suatu tuntutan atau tanggung jawab.[7] Secara sederhana, klausula eksonerasi ini diartikan sebagai klausula pengecualian kewajiban/tanggung jawab dalam perjanjian.
Pembatasan atau larangan penggunaan klausula eksonerasi ini dapat kita temui dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”). Dalam UUPK ini klausula eksonerasi merupakan salah satu bentuk “klausula baku” yang dilarang oleh UU tersebut.
Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Karena pada dasarnya, hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata - KUHPerdata). Dalam hal ini setiap pihak yang mengadakan perjanjian bebas membuat perjanjian sepanjang isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata).

BAB III

PEMBAHASAN

Apabila diperhatikan bunyi perjanjian baku seperti “pengelola parkir tidak bertanggung jawab atas segala kerusakan dan kehilangan dalam bentuk apapun” tercetak dibalik karcis parkir, pada dasarnya memiliki beberapa  kekeliruan mendasar. Penyimpangan dan kekeliruan dari sisi legal adalah:
a.       Pengelakan, pengalihan dan pembatasan tanggungjawab perusahaan  parkirPengelakan, pengalihan dan pembatasan tanggungjawab perusahaan parkir dibedakan dalam dua hal, yaitu :
1)      Ketika berada dalam lingkungan parkir, perusahaan parkir sepenuhnya adalah dalam domain dan wilayah penjagaan Perusahaan. Jadi adalah sesuatu yang naif dan tidak bertanggungjawab suatu perusahaan yang lingkungan kegiatan dan usahanya adalah untuk menerima penitipan barang, tetapi tidak bertanggungjawab kalau ada kehilangan di wilayah yang merupakan domainnya tersebut. Perusahaan harus berusaha dengan standar keamanan dan perlindungan yang wajar terhadap kendaraan yang dititipkan dalam lingkungan usahanya berdasarkan ketentuan yang umumnya berlaku. Suatu disclaimer atau exemption atau eksonerasi yang demikian harus dianggap batal demi hukum. Perjanjian yang ada adalah perjanjian penitipan bukan perjanjian penyewaan lahan parkir. Perjanjiannya sendiri tetap dianggap sah, namun klausul pembatasan tersebutlah yang tidak sah.[8]
2)      Ketika dikemudikan oleh petugas parkir perusahaanKlausul yang mengelak dari tanggungjawab oleh perusahaan, ketika dikemudikan petugas parkir perusahaan baik terhadap kerusakan dan kehilangan kendaraan maupun isinya serta terhadap pihak ketiga lainnya adalah salah satu klausul yang sangat naif dan menjungkir balikkan logika. Pada hal asas yang umum dalam hukum, adalah bahwa hukum itu harus mengikuti dan bersetuju terhadap hal-hal yang rasional, atau yang dikenal dengan istilah Lex semper intendit quod convenit rationi.[9] Perusahaan atau petugas perusahaan ketika menerima mobil dari konsumennya untuk diparkirkan, berarti telah mengambil alih tanggungjawab untuk memarkir, menyimpan dan akan mengembalikan kendaraan dan isinya dalam keadaan sebagaimana diterima. Prinsip kecermatan, trust,  due pofessional care dan fiduciary duties dapat dianggap melekat pada perusahaan[10].Tidak ada klausul manapun pada peraturan perundang-undangan yang lain, seperti peraturan perlalu-lintasan atau peraturan asuransi kecelakaan yang mengindemnify pelaku atas kemungkinan adanya celaka, loss atau damage yang diakibatkannya.
b.      Ketidakseimbangan hak dan kewajiban pada terms baku Peraturan baku perusahaan menyatakan bahwa apabila karena konsumen kehilangan kartu parkir, yang mengakibatkan secara keliru petugas parkir menyerahkan kendaraan kepada orang lain, maka pihak perusahaan tidak dapat dimintakan tanggungjawab atas kerugian atau kehilangan kendaraan maupun isinya. Sebagaimana diketahui dalam undang-undang perlindungan konsumen, tujuan utamanya adalah untuk :
1.      Mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggungjawab dalam menjalankan usahanya
2.      Meningkatkan daya tawar konsumen terhadap pelaku dunia usaha
Terms di atas tidak mendorong dan tidak mencerminkan pemenuhan terhadap amanat dan cita-cita undang-undang itu. Perusahaan seyogianya menerapkan prinsip kehati-hatian, profesionalisme, alertness dan lain-lain sesuai dengan spesialisasinya di bidang jasa parkir. Dalam hal konsumen kehilangan bukti parkir, perusahaan seyogianya terlebih dahulu meminta surat tanda nomor kendaraan dan bukti tambahan atau aksesorial lainnya mengenai kepemilikan kendaraan, dan tidak serta-merta membangun tembok imunitas apabila petugas parkir salah memberikan izin keluar kendaraan kepada orang lain (yang bukan pemilik atau pengguna yang sah), hanya karena orang lain tersebut mampu menunjukkan bukti parkir yang mungkin tercecer dan ditemukannya. Akibat lebih jauh adalah apabila ada sindikasi kejahatan yang memalsukan kartu perkir, dan menggunakannya untuk mengambil kendaraan segera setelah ditinggalkan pemiliknya yang sah, akan menjadikan pemilik kendaraan pada posisi sulit dan rawan untuk mendapatkan kembali kendaraannya. Tidak ada jaminan bahwa dia akan diganti rugi atau dipulihkan hak-haknya manakala kendaraan dan/ atau isi kendaraan tersebut berkurang, rusak atau hilang. Seperti telah dikutip pada bab sebelumnya mengenai ketentuan-ketentuan KUHPerdata, pada dasarnya undang-undang dan ketentuan yang berlaku sebagai hukum positif tidak memberikan ruang untuk melakukan penyimpangan dari ketentuan yang ada. Terms and conditions pada lembar karcis tanda parkir tidak boleh diartikan sebagai lex specialist dari ketentuan undang-undang yang lebih tinggi. Justru sebaliknya asas yang semestinya digunakan untuk menguji dan mengukur keabsahan klausul baku tersebut adalah adagium yang menyatakan bahwa ketentuan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi atau lex superior derogat legi inferiori. Berdasarkan asas tersebut, maka peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang mengatur materi yang sama, maka peraturan perundang-undangan yang lebih tinggilah yang berlaku[11]. Selanjutnya apabila diuji berdasarkan ketentuan keabsahan perjanjian sebagaimana dimaksud pada pasal 1320 KUHPerdata, seyogianya perjanjian yang demikian harus dianggap bertentangan dengan kausa halal. Selanjutnya berdasarkan pasal 1324 KUHPerdata, dinyatakan bahwa suatu perjanjian sudah mengandung unsur paksaan apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Demikian juga, apabila diuji dengan semangat, maksud dan diktum-diktum pada Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, klausul baku yang ada pada karcis parkir adalah bertentangan dan tidak sejalan dengan undang-undang tersebut. Pertentangan atau ketidak sesuaian dengan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen antara lain adalah[12]:
(1)   a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. pembuktian atas hilangnya barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; c. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
(2)   Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3)   Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. 
(4)   Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. Khusus mengenai diktum nomor (2) mengenai kesulitan membaca atau pengungkapan yang sulit dimengerti, sifatnya agak debatable karena tingkat kesulitan tersebut adalah relatif, sekalipun dengan ukuran yang normal lay-out dan font huruf-hurufnya adalah sedemikian kecil, jauh dibawah besar huruf yang normal digunakan seperti huruf-huruf surat kabar atau buku-buku bacaan. Namun demikian, andaikanpun huruf-hurufnya sedemikian tebal dan terang tercetak, hal tersebut tidak mengurangi makna bahwa konsumen tidak dalam posisi seimbang antara hak-hak dan kewajibannya dengan produsen atau pengusaha  parkir. Kondisi take it or leave it adalah karakteristik nyata jasa parkir sejak konsumen memutuskan untuk menggunakan jasa tersebut. Kondisi tersebut adalah nyata dan sulit bagi konsumen untuk menegosiasikan kekhususan, kepantasan dan kepatutan dalam membuat perjanjian atau klausul baku.



BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian sebelumnya mengenai hakekat perjanjian berdasarkan KUHPerdata dan Undang-undang Perlindungan Konsumen, ketentuan perjanjian baku pada karcis parkir adalah tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, khususnya menyangkut :
  1. Pengelakan dan pengalihan tanggungjawab pengelola jasa  parkir kepada konsumen.
  2. Ketidakseimbangan terms and conditions pada klausul  parkir yang cenderung lebih memberatkan kepada konsumen.
Harapan untuk penguatan posisi tawar konsumen dan pemberian dorongan tanggungjawab kepada pengelola jasa  parkir yang tidak atau sangat kurang.

SARAN

1.      Pencabutan klausul baku, pada setiap perusahaan pengelolaan parkir.
2.      Pencegahan atas terjadinya kerusakan atau kehilangan kendaraan yang terjadi dalam area parkir dengan peningkatan system and management yang baik



DAFTAR PUSTAKA

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) – Buku Kedua, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm.76.
Hood Philips dalam, Hukum Kontrak Internasional, Syahmin A.K., Ed.1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm.141.
Syahmin A.K., ibid, hlm.141.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 87
Mariam Darus Badrulzaman, Kumpulan Pidato Pengukuhan. Bandung, Alumni, 1991, hal 99.
SOEDARYO SOIMIN, S.H. KUH Perdata, Sinar Grafika
keputusan PN 1264K/Pdt/2005
Lex semper intendit quod convenit rationi means the law always intends what is agreable to reason, cf. Black’s law dictionary, fifth edition, St Paul Minn, West Publishing Co., 1979, hal. 822
IG Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty Yogyakarta, 2004, hal. 122
Kutipan dari beberapa pasal 18 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen




1 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) - Buku Kedua, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm.76.
[2] Hood Philips dalam, Hukum Kontrak Internasional, Syahmin A.K., Ed.1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm.141.
[3] Syahmin A.K., ibid, hlm.141.
[4] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 87
[5] Mariam Darus Badrulzaman, Kumpulan Pidato Pengukuhan. Bandung, Alumni, 1991, hal 99.

[6] SOEDARYO SOIMIN, S.H. KUH Perdata, Sinar Grafika
[7] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d0894211ad0e/klausula-eksonerasi
[8] Dalam kasus yang hampir sama, majelis kasasi MA ‘menolak’ kasasi secure parking dalam perkara nomor 1264K/Pdt/2005 dan menghukum Secure Parking membayar kehilangan mobil yang dialami konsumennya.
[9]  Lex semper intendit quod convenit rationi means the law always intends what is agreable to reason, cf. Black’s law dictionary, fifth edition, St Paul Minn, West Publishing Co., 1979, hal. 822
[10] Prinsip tersebut di atas, secara umum melekat pada direksi perusahaan yang mengemudikan jalannya perusahaan atas amanah pemegang saham. Sampai pada derajat tertentu analogi tersebut kiranya dapat dilekatkan pada perusahaan dan petugas  parkir. Mengenai tanggungjawab kehati-hatian ini, dapat diperdalam pada IG Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007
[11] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty Yogyakarta, 2004, hal. 122
[12] Kutipan dari beberapa pasal 18 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar