BAB I
A. Pendahuluan
Dalam perdagangan baik barang maupun
jasa, terdapat kontrak baku yang dibuat hanya oleh sepihak, pada umumnya
kontrak baku tersebut dibuat oleh pelaku usaha dan pihak lain hanya setuju atau
tidak setuju (take it or leave it),
meskipun ketentuan klausul dalam kontrak baku telah diatur dalam UU No. 8 tahun
1999 tentang perlindungan konsumen, namun masih banyak pelaku usaha yang
mengesampingkan ketentuan tersebut.
Sebagai
contoh dalam perdagangan barang kerap tertulis “barang yang sudah dibeli tidak
dapat ditukar atau dikembalikan” hal ini kerap ditemukan hamper disetiap tempat
penjualan barang-barang seperti toko, pasar dan tempat perbelanjaan lainnya. Dan
bukan hanya itu perusahaan jasa pelayanan parkir kerap klausula yang sama,
karena pada umumnya pengelolaan parkir memuat ketentuan baku yang telah dibuatkan
sebelumnya secara sepihak. Ketentuan-ketentuan yang mengatur (general terms
and conditions) pada perjanjian parkir terdapat dan tercetak pada lembaran
kartu parkir yang diterima oleh konsumen. Ketentuan yang mengatur hak-hak dan
kewajiban antara konsumen (dalam hal ini dapat dipersamakan dengan
kreditur jasa pelayanan parkir) dan Perusahaan (dalam hal ini dapat
dipersamakan dengan debitur yang menyediakan jasa pelayanan parkir), perjanjian
tersebut telah diberlakukan sepihak dan dianggap diterima oleh pihak lain
seketika pihak lain tersebut menerima penawaran (accept the offer) jasa dimaksud. Dalam Undang-undang nomor 8 tahun
1999 tentang perlindungan konsumen dinyatakan bahwa Klausula Baku adalah setiap
aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Prosedur baku dalam pelayanan jasa parkir adalah konsumen menerima secarik
tiket atau kertas sebagai bukti telah menyewa ruang dalam area lahan parkir
tersebut dan menitipkan kendaraaanya demi keamanan. Dibalik kertas atau tiket
tersebut umumnya dicantumkan beberapa klausula baku, namun salah satu klausula
tersebut umumnya berbunyi “pengelola parkir tidak bertanggung jawab atas segala
kerusakan dan kehilangan dalam bentuk apapun”. Mengingat kedudukan para pihak
dalam penentuan terms and conditions
perjanjian baku tidak seimbang, dimana satu pihak (dalam hal ini konsumen)
berada pada posisi take it or leave it, maka makalah ini mencoba untuk
menguraikan perjanjian baku yang dibuat dalam ketentuan perkir.
B. Permasalahan
- Apakah perjanjian baku yang dibuat pengusaha jasa pelayanan parkir memenuhi ketentuan klausul dalam ketentuan kontrak baku yang diatur dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999
- Apakah terms and conditions pada klausul parkir yang cenderung lebih memberatkan kepada konsumen?
C. Metode Penelitian
Metode yang digunakan
dalam makalah ini adalah metode yuridis normative dengan mengumpulkan data-data
kepustakaan dan informasi internet.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Kontrak Baku
Ketentuan
mengenai Kontrak baku tertuang dalam pasal 18 UU No. 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen
(1)
Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a.
menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.
menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
c.
menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas
barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.
menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.
mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
f.
jasa
yang dibeli oleh konsumen;
g.
memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
h.
menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
i.
menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
(2)
Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3)
Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan
batal demi hukum.
(4)
Pelaku
usaha wajib
menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undangundang ini.
Dengan adanya
perkembangan dalam dunia perdagangan, kebutuhan kontrak baku, atau yang dalam
Bahasa Inggrisnya standard contract, menjadi sangat penting. Menurut
Munir Fuady, yang dimaksud kontrak baku adalah:1 …suatu
kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak
tersebut, bahkan sering kali kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate)
dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal
ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan
data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam
klausula-klausulanya…
Pihak yang disodorkan kontrak baku tidak
memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi atau berada dalam posisi “take
it or leave it,” atau bahkan terkadang klausul dalam kontrak tersebut berat
sebelah atau memihak karena dibuat oleh salah satu pihak dan bukan hasil dari
negosiasi sebelum tercapainya kata sepakat.
Hal dimaksud di atas sejalan dengan
pendapat dari Hood Philips, terkait dengan hubungan produsen dan konsumen,
yaitu “These contracts (standard contracts) are of the take-it or leave-it
kind, for here the customer cannot bargain over the terms: his only choice is
to accept the terms in toto or to reject the service altogehter.”[2]
Dari uraian di atas, karakter dari suatu
kontrak baku, kriterianya yaitu:[3]
a.
Isi kontrak telah ditetapkan secara tertulis dalam bentuk
yang digandakan;
b. Penggandaan kontrak dimaksudkan untuk melayani permintaan para konsumen yang berfrekuensi tinggi (sering dan banyak/massal);
c. Konsumen dalam banyak hal menduduki posisi tawar-menawar (kedudukan transaksional) yang lebih rendah daripada produsen.
b. Penggandaan kontrak dimaksudkan untuk melayani permintaan para konsumen yang berfrekuensi tinggi (sering dan banyak/massal);
c. Konsumen dalam banyak hal menduduki posisi tawar-menawar (kedudukan transaksional) yang lebih rendah daripada produsen.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih
bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard
contract”. Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai
patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan
pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan,
dan ukuran.[4]
Menurut Mariam
Darus Badrulzaman perjanjian baku dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :[5]
a. Perjanjian baku
sepihak atau perjanjian adhesi adalah perjanjian yang isinya ditentukan
oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat
disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat
dibandingkan pihak debitur.
b. Perjanjian baku
timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak,
misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan
(kreditor) dan pihak lainnya buruh (debitor). Kedua pihak lazimnya terikat
dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
c. Perjanjian baku
yang ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan
pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya
perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah.
d. Perjanjian baku
yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah perjanjian-perjanjian
yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari
anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan
Selain kelemahan kontrak baku sebagaimana disebutkan di atas, ada juga kelebihan-kelebihan
dari kontrak baku. Salah satu kelebihan dari kontrak baku misalnya dalam bisnis
yang melibatkan kontrak dalam jumlah yang banyak, sehingga untuk mengefisienkan
waktu diperlukan standardisasi kontrak. Bagi dunia bisnis, kontrak baku sangat
diperlukan karena mempermudah operasi bisnis dan mengurangi ongkos-ongkos.
Kemudian, mengenai implikasi dari penggunaan kontrak baku pada asas
kebebasan berkontrak, dapat dilihat pada saat kemunculan perusahaan-perusahaan
multi-nasional sebagai akibat adanya revolusi industri. Dalam melakukan
kegiatan usahanya, perusahaan multi-nasional tersebut menggunakan kontrak baku
yang membatasi kebebasan berkontrak dan kesederajatan para pihak yang notabene
merupakan roh dari asas kebebasan berkontrak.
Dalam perjalanannya, kemudian berkembang paham negara kesejahteraan (welfare
state) yang menyebabkan makin besarnya keikutsertaan negara dalam mengatur
kehidupan masyarakat, yang kemudian diikuti oleh munculnya berbagai peraturan
yang dikeluarkan oleh negara (pemerintah). Hal di atas mengakibatkan peran asas
kebebasan berkontrak menjadi berkurang atau bahkan tidak dapat diwujudkan di
dalam suatu perjanjian, sekalipun perjanjian tersebut terjadi antara para pihak
yang keduanya individu.
Adapun contoh-contoh dari kontrak baku antara lain yaitu:
a.
Kontrak pengusahaan sumber daya alam;
b. Kontrak (polis)
asuransi;
c. Kontrak di bidang
perbankan;
d. Kontrak sewa guna
usaha;
e. Kontrak jual beli
rumah/apartemen dari perusahaan real estate;
f. Kontrak sewa
menyewa gedung perkantoran;
g. Kontrak pembuatan kartu kredit;
h. Kontrak pengiriman barang;
i.
Dan lain-lain.
B. ASAS-ASAS DALAM KONTRAK
Asas-asas
dalam hukum kontrak antara lain:
1.
Hukum kontrak bersifat mengatur
Hukum dilihat
dari daya mengikatnya, umumnya dibagi atas dua kelompok, yaitu:
a. Hukum
bersifat memaksa maksudnya adalah kaidah-kaidah hukum yang dalam keadaan
konkrit tidak dapat dikesampingkan. Hukum memaksa ini wajib diikuti oleh setiap
warga negara dan tidak dimungkinkan membuat aturan yang menyimpang dari
aturan-aturan yang ditetapkan dalam hukum yang bersifat memaksa. Hukum memaksa
ini umumnya termasuk dalam bidang hukum publik.
b. Hukum
bersifat mengatur maksudnya hukum yang dalam keadaan konkrit dapat
dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat pengaturan tersendiri yang
disepakati oleh para pihak tersebut. Hukum bersifat mengatur ini umumnya
terdapat dalam lapangan hukum perjanjian/ hukum kontrak (Buku III KUH Perdata).
Jadi, dalam hal ini, jika para pihak mengatur lain,maka aturan yang dibuat oleh
para pihaklah yang berlaku.
2.
Asas
kebebasan berkontrak (freedom of contract)
Asas ini
merupakan konsekuensi dari sifat hukum kontrak yang sifatnya sebagai hukum
mengatur. Asas freedom of contract mengandung pengertian bahwa para
pihak bebas mengatur sendiri isi kontrak tersebut. Meskipun demikian, kebebasan
melakukan kontrak tidak bersifat sebebas bebasnya.
Dalam
sistem hukum perjanjian di Indonesia, kebebasan para pihak dalam melakukan
kontrak dibatasi sepanjang kontrak tersebut ;
a.
memenuhi syarat sebagai suatu kontrak ;
b.
tidak bertentangan dengan undang-undang, kepatutan/
kesusilaan dan ketertiban umum ;
3.
Asas facta sunt servanda
Asas facta
sunt servanda berarti perjanjian bersifat mengikat secara penuh karenanya
harus ditepati. Hukum kontrak di Indonesia menganut prinsip ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata.Pasal 1338 KUH Perdata “Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka
yang membuatnya.”[6]
Berdasarkan Pasal ini, daya mengikat kontrak sama seperti
undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya.
4.
Asas Konsensual
Asas ini
mempunyai pengertian bahwa suatu kontrak sudah sah dan mengikat pada saat
tercapai kata sepakat para pihak, tentunya sepanjang kontrak tersebut memenuhi
syarat sah yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perlu diingat bahwa
asas konsensual tidak berlaku pada perjanjian formal. Perjanjian formal
maksudnya adalah perjanjian yang memerlukan tindakantindakan formal tertentu,
misalnya Perjanjian Jual Beli Tanah, formalitas yang diperlukan adalah
pembuatannya dalam Akta PPAT. Dalam perjanjian formal, suatu perjanjian akan
mengikat setelah terpenuhi tindakan-tindakan formal dimaksud.
5.
Asas Obligatoir
Maksud asas
ini adalah bahwa suatu kontrak sudah mengikat para pihak seketika setelah
tercapainya kata sepakat, akan tetapi daya ikat ini hanya sebatas timbulnya hak
dan kewajiban para pihak. Pada tahap tersebut hak milik atas suatu benda yang
diperjanjikan (misalnya perjanjian jual beli) belum berpindah. Untuk dapat
memindahkan hak milik diperlukan satu tahap lagi, yaitu kontrak kebendaan (zakelijke
overeenkomst). Wujud konkrit kontrak kebendaan ini adalah tindakan
penyerahan (levering) atas benda yang bersangkutan dari tangan penjual
ke tangan pembeli. Taahapan penyerahan ini penting untuk diperhatikan karena
menimbulkan konsekuensi hukum tertentu. Misalnya dalam suatu perjanjian jual
beli barang belum diserahkan kepada pembeli, jika barang tersebut hilang atau
musnah, maka pembeli hanya berhak menuntut pengembalian harga saja, akan tetapi
tidak berhak menuntut ganti rugi, karena secara hukum hak milik atas benda
tersebut belum berpindah kepada pembeli. Hal ini dikrenakan belum terjadi
kontrak kebendaan berupa penyerahan benda tersebut kepada pembeli. Berbeda jika
benda tersebut sudah diserahkan kepada pembeli dan selanjutnya dipinjam oleh
penjual, maka jika barang tersebut rusak atau musnah maka pembeli berhak
menuntut pengembalian harga dan ganti rugi. Sifat obligatoir ini berbeda
dengan asas hukum kontrak yang diatur dalam Code Civil Prancis. Menurut Code
Civil Prancis, hak kepemilikan turut berpindah ketika kontrak telah disepakati.
6.
Asas Keseimbangan
Maksud asas
ini adalah bahwa kedudukan para pihak dalam merumuskan kontrak harus dalam
keadaan seimbang. Pasal 1321 KUH Perdata menyebutkan bahwa tiada kata sepakat
dianggap sah apabila diberikan karena kekhilafan, keterpaksaan atau penipuan.
C. KLAUSUL EKSENORASI
Eksonerasi atau exoneration (Bahasa Inggris)
diartikan oleh I.P.M. Ranuhandoko B.A.
dalam bukunya “Terminologi Hukum Inggris-Indonesia”yaitu “Membebaskan
seseorang atau badan usaha dari suatu tuntutan atau tanggung jawab.”[7]
Secara sederhana, klausula eksonerasi ini diartikan sebagai klausula
pengecualian kewajiban/tanggung jawab dalam perjanjian.
Pembatasan atau larangan penggunaan klausula eksonerasi ini
dapat kita temui dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
(“UUPK”). Dalam UUPK ini
klausula eksonerasi merupakan salah satu bentuk “klausula baku” yang dilarang oleh UU tersebut.
Dalam penjelasan
Pasal 18 ayat (1) UUPK menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman
klausula baku yaitu bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan
konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Karena pada dasarnya, hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan
berkontrak (Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata - KUHPerdata).
Dalam hal ini setiap pihak yang mengadakan perjanjian bebas membuat perjanjian
sepanjang isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban
umum (Pasal 1337 KUHPerdata).
BAB III
PEMBAHASAN
Apabila
diperhatikan bunyi perjanjian baku seperti “pengelola parkir tidak bertanggung
jawab atas segala kerusakan dan kehilangan dalam bentuk apapun” tercetak
dibalik karcis parkir, pada dasarnya memiliki beberapa kekeliruan
mendasar. Penyimpangan dan kekeliruan dari sisi legal adalah:
a. Pengelakan,
pengalihan dan pembatasan tanggungjawab perusahaan parkirPengelakan, pengalihan dan pembatasan
tanggungjawab perusahaan parkir dibedakan dalam dua hal, yaitu :
1) Ketika
berada dalam lingkungan parkir, perusahaan parkir sepenuhnya adalah dalam
domain dan wilayah penjagaan Perusahaan. Jadi adalah sesuatu yang naif dan
tidak bertanggungjawab suatu perusahaan yang lingkungan kegiatan dan usahanya
adalah untuk menerima penitipan barang, tetapi tidak bertanggungjawab kalau ada
kehilangan di wilayah yang merupakan domainnya tersebut. Perusahaan harus
berusaha dengan standar keamanan dan perlindungan yang wajar terhadap kendaraan
yang dititipkan dalam lingkungan usahanya berdasarkan ketentuan yang umumnya
berlaku. Suatu disclaimer atau exemption atau eksonerasi
yang demikian harus dianggap batal demi hukum. Perjanjian yang ada adalah
perjanjian penitipan bukan perjanjian penyewaan lahan parkir. Perjanjiannya
sendiri tetap dianggap sah, namun klausul pembatasan tersebutlah yang tidak
sah.[8]
2) Ketika
dikemudikan oleh petugas parkir perusahaanKlausul yang mengelak dari
tanggungjawab oleh perusahaan, ketika dikemudikan petugas parkir perusahaan
baik terhadap kerusakan dan kehilangan kendaraan maupun isinya serta terhadap
pihak ketiga lainnya adalah salah satu klausul yang sangat naif dan menjungkir
balikkan logika. Pada hal asas yang umum dalam hukum, adalah bahwa hukum itu
harus mengikuti dan bersetuju terhadap hal-hal yang rasional, atau yang dikenal
dengan istilah Lex semper intendit quod convenit rationi.[9]
Perusahaan atau petugas perusahaan ketika menerima mobil dari konsumennya untuk
diparkirkan, berarti telah mengambil alih tanggungjawab untuk memarkir,
menyimpan dan akan mengembalikan kendaraan dan isinya dalam keadaan sebagaimana
diterima. Prinsip kecermatan, trust, due pofessional care dan fiduciary
duties dapat dianggap melekat pada perusahaan[10].Tidak
ada klausul manapun pada peraturan perundang-undangan yang lain, seperti
peraturan perlalu-lintasan atau peraturan asuransi kecelakaan yang mengindemnify
pelaku atas kemungkinan adanya celaka, loss atau damage yang
diakibatkannya.
b. Ketidakseimbangan
hak dan kewajiban pada terms baku Peraturan baku perusahaan menyatakan
bahwa apabila karena konsumen kehilangan kartu parkir, yang mengakibatkan
secara keliru petugas parkir menyerahkan kendaraan kepada orang lain, maka
pihak perusahaan tidak dapat dimintakan tanggungjawab atas kerugian atau
kehilangan kendaraan maupun isinya. Sebagaimana diketahui dalam undang-undang
perlindungan konsumen, tujuan utamanya adalah untuk :
1. Mendorong
pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggungjawab dalam menjalankan
usahanya
2. Meningkatkan
daya tawar konsumen terhadap pelaku dunia usaha
Terms
di atas tidak mendorong dan tidak mencerminkan pemenuhan terhadap amanat dan
cita-cita undang-undang itu. Perusahaan seyogianya menerapkan prinsip
kehati-hatian, profesionalisme, alertness dan lain-lain sesuai dengan
spesialisasinya di bidang jasa parkir. Dalam hal konsumen kehilangan bukti
parkir, perusahaan seyogianya terlebih dahulu meminta surat tanda nomor
kendaraan dan bukti tambahan atau aksesorial lainnya mengenai kepemilikan
kendaraan, dan tidak serta-merta membangun tembok imunitas apabila petugas
parkir salah memberikan izin keluar kendaraan kepada orang lain (yang bukan
pemilik atau pengguna yang sah), hanya karena orang lain tersebut mampu
menunjukkan bukti parkir yang mungkin tercecer dan ditemukannya. Akibat lebih
jauh adalah apabila ada sindikasi kejahatan yang memalsukan kartu perkir, dan
menggunakannya untuk mengambil kendaraan segera setelah ditinggalkan pemiliknya
yang sah, akan menjadikan pemilik kendaraan pada posisi sulit dan rawan untuk
mendapatkan kembali kendaraannya. Tidak ada jaminan bahwa dia akan diganti rugi
atau dipulihkan hak-haknya manakala kendaraan dan/ atau isi kendaraan tersebut
berkurang, rusak atau hilang. Seperti telah dikutip pada bab sebelumnya
mengenai ketentuan-ketentuan KUHPerdata, pada dasarnya undang-undang dan
ketentuan yang berlaku sebagai hukum positif tidak memberikan ruang untuk
melakukan penyimpangan dari ketentuan yang ada. Terms and conditions
pada lembar karcis tanda parkir tidak boleh diartikan sebagai lex specialist
dari ketentuan undang-undang yang lebih tinggi. Justru sebaliknya asas yang
semestinya digunakan untuk menguji dan mengukur keabsahan klausul baku tersebut
adalah adagium yang menyatakan bahwa ketentuan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi atau lex superior derogat
legi inferiori. Berdasarkan asas tersebut, maka peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah yang mengatur materi yang sama, maka
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggilah yang berlaku[11].
Selanjutnya apabila diuji berdasarkan ketentuan keabsahan perjanjian
sebagaimana dimaksud pada pasal 1320 KUHPerdata, seyogianya perjanjian yang
demikian harus dianggap bertentangan dengan kausa halal. Selanjutnya
berdasarkan pasal 1324 KUHPerdata, dinyatakan bahwa suatu perjanjian sudah
mengandung unsur paksaan apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat
menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat
menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya
terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Demikian juga, apabila
diuji dengan semangat, maksud dan diktum-diktum pada Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen, klausul baku yang ada pada karcis parkir adalah
bertentangan dan tidak sejalan dengan undang-undang tersebut. Pertentangan atau
ketidak sesuaian dengan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen antara lain
adalah[12]:
(1) a.
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. pembuktian atas hilangnya barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; c. menyatakan tunduknya
konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau
pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
(2) Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
(3) Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku
usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang
ini. Khusus mengenai diktum nomor (2) mengenai kesulitan membaca atau
pengungkapan yang sulit dimengerti, sifatnya agak debatable karena
tingkat kesulitan tersebut adalah relatif, sekalipun dengan ukuran yang normal lay-out
dan font huruf-hurufnya adalah sedemikian kecil, jauh dibawah besar
huruf yang normal digunakan seperti huruf-huruf surat kabar atau buku-buku
bacaan. Namun demikian, andaikanpun huruf-hurufnya sedemikian tebal dan terang
tercetak, hal tersebut tidak mengurangi makna bahwa konsumen tidak dalam posisi
seimbang antara hak-hak dan kewajibannya dengan produsen atau pengusaha parkir. Kondisi take it or leave it
adalah karakteristik nyata jasa parkir sejak konsumen memutuskan untuk
menggunakan jasa tersebut. Kondisi tersebut adalah nyata dan sulit bagi
konsumen untuk menegosiasikan kekhususan, kepantasan dan kepatutan dalam
membuat perjanjian atau klausul baku.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian sebelumnya mengenai hakekat perjanjian berdasarkan KUHPerdata dan
Undang-undang Perlindungan Konsumen, ketentuan perjanjian baku pada karcis
parkir adalah tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, khususnya menyangkut
:
- Pengelakan dan pengalihan tanggungjawab pengelola jasa parkir kepada konsumen.
- Ketidakseimbangan terms and conditions pada klausul parkir yang cenderung lebih memberatkan kepada konsumen.
Harapan
untuk penguatan posisi tawar konsumen dan pemberian dorongan tanggungjawab
kepada pengelola jasa parkir yang tidak
atau sangat kurang.
SARAN
1. Pencabutan
klausul baku, pada setiap perusahaan pengelolaan parkir.
2. Pencegahan
atas terjadinya kerusakan atau kehilangan kendaraan yang terjadi dalam area
parkir dengan peningkatan system and
management yang baik
DAFTAR PUSTAKA
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari
Sudut Pandang Hukum Bisnis) – Buku Kedua,
(Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2007), hlm.76.
Hood Philips dalam, Hukum Kontrak
Internasional, Syahmin A.K., Ed.1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm.141.
Syahmin A.K., ibid, hlm.141.
Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perikatan, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 87
Mariam Darus
Badrulzaman, Kumpulan Pidato Pengukuhan. Bandung, Alumni, 1991, hal 99.
SOEDARYO
SOIMIN, S.H. KUH Perdata, Sinar Grafika
keputusan
PN 1264K/Pdt/2005
Lex
semper intendit quod convenit rationi means the law always intends what is
agreable to reason, cf. Black’s law dictionary, fifth edition, St Paul Minn,
West Publishing Co., 1979, hal. 822
IG
Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007
Sudikno
Mertokusumo, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty Yogyakarta, 2004, hal. 122
Kutipan
dari beberapa pasal 18 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
1 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari
Sudut Pandang Hukum Bisnis) - Buku Kedua, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2007), hlm.76.
[2] Hood Philips dalam, Hukum
Kontrak Internasional, Syahmin A.K., Ed.1, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006), hlm.141.
[3]
Syahmin A.K., ibid, hlm.141.
[4]
Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perikatan, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 87
[5]
Mariam Darus
Badrulzaman, Kumpulan Pidato Pengukuhan. Bandung, Alumni, 1991, hal 99.
[6] SOEDARYO SOIMIN,
S.H. KUH Perdata, Sinar Grafika
[7]
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d0894211ad0e/klausula-eksonerasi
[8] Dalam kasus yang
hampir sama, majelis kasasi MA ‘menolak’ kasasi
secure parking dalam perkara nomor 1264K/Pdt/2005 dan menghukum Secure Parking
membayar kehilangan mobil yang dialami konsumennya.
[9] Lex semper
intendit quod convenit rationi means the law always intends what is agreable to
reason, cf. Black’s law dictionary, fifth edition, St Paul Minn, West
Publishing Co., 1979, hal. 822
[10] Prinsip tersebut
di atas, secara umum melekat pada direksi perusahaan yang mengemudikan jalannya
perusahaan atas amanah pemegang saham. Sampai pada derajat tertentu analogi
tersebut kiranya dapat dilekatkan pada perusahaan dan petugas parkir. Mengenai tanggungjawab kehati-hatian
ini, dapat diperdalam pada IG Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta,
2007
[11] Sudikno
Mertokusumo, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty Yogyakarta, 2004, hal. 122
[12]
Kutipan dari beberapa pasal 18 Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar