Rabu, 25 Desember 2013

PRO KONTRA HUKUMAN MATI


Hukuman mati kerap merupakan perdebatan umum yang lazim terjadi diseluruh dunia, yang tentu menimbulkan sikap pro dan kontra. Perdebatan hukuman mati di Indonesia juga cukup menarik di perbincangkan, hal ini kerap dijadikan bahasan dalam ajang debat. Sebagai manusia yang mendambakan keadilan, tentu sikap pro terhadap hukuman mati lebih banyak dipilih, begitu banyak dalil yang dapat dikemukakan untuk menyatakan pro, sehingga saya hanya akan menulis dalil-dalil mengenai pernyataan kontra terhadap hukuman mati di Indonesia.

1. Dasar hukum
Hukuman mati di indonesia termuat dalam pasal 10 KUHP dan Undang-undang pidana khusus lainnya seperti UU No.5 tahun 2009 tentang narkotika dan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun secara a contrario dalam Pasal 28A UUD 1945 menyatakan bahwa "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dan Pasal 28I  ayat (1) yang menyatakan "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah ha. asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun".
Asas hukum indonesia, mengenal adanya asas Lex superior derogat legi inferior, artinya:kalau terjadi konflik/pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilah yang harus didahulukan. Karena dalam hierarki perundangan-undangan, kedudukan UUD lebih tinggi kedudukannya daripada UU. Sehingga dapat dikatakan bahwa UU yang memuat hukuman mati telah bertentangan dengan UUD.

2. Perspektif HAM
masih terkait substansi dasar hukum diatas, sebelum beranjak lebih jauh mengenai hukuman mati di Indonesia. Alangkah baiknya terlebih dahulu mengetahui apa yang dimaksud dengan hak asasi manusia. Berikut ini beberapa definisi hak asasi manusia:
  • Hak Asasi Manusia adalah Hak-hak (yang seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Soetandyo Wignjosoebroto.
  • Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
  • Hak asasi manusia adalah hak dasar/mutlak/kudus/suci pemberian Tuhan yang dimiliki setiap manusia serta menempel/melekat untuk selamanya. Dalam pelaksananaannya harus memperhatikan/menghormati hak orang lain. Hak asasi juga dibareng dengan tanggung jawab asasi dan kewajiban asasi.
Maka dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang diberikan dari Tuhan kepada manusia sesuai dengan kodratnya. Hak tersebut bukanlah berasal dari manusia sehingga diantara mereka harus saling menghormati. Manusia tidak sepatutnya hanya menuntut pemenuhan hak tetapi juga harus diimbangi dengan pemenuhan kewajiban asasi.
 
Dalam pandangan universal hukuman mati harus dihapuskan karena dipandang melanggar Hak hidup seseorang. Nilai-nilai individual yang ada dalam konsep HAM menuntut agar hak seseorang jangan dilanggar. HAM lahir dari nilai-nilai individual yang liberal, yang biasanya hidup dalam negara barat. Hal tersebut mempengaruhi cara pandang aliran HAM ini. Kelompok negara yang berpandangan terhadap nilai universalitas memandang bahwa di manapun seseorang berada, hak-haknya harus diakui dan dilindungi. Hukuman mati yang jelas bertentangan dengan nilai HAM harus dihapuskan.

Sebagai upaya penghapusan hukuman mati negara-negara di dunia terutama negara yang telah meratifikasi The second optional protocol to the international covenant on civil and political rights, aiming at the abolition of death penalty telah menetapkan tanggal 10 oktober sebagai hari anti hukuman mati. Melalui hari peringatan itu diharapkan negara-negara di dunia menghapuskan hukuman mati karena hukuman mati tidak sesuai dengan perkembangan HAM di dunia.

3. Kesalahan Vonis Pengadilan
Pada dasarnya hakim adalah manusia biasa yang tentu dapat melakukan kesalahan dalam memberi putusan, baik sengaja maupun tidak. Bahkan sekarang ini hakim kerap mengesampingkan kode etik profesinya sebagai penegak hukum. hal ini tentu tidak dapat memberikan suatu solusi bilmana hakim salah dalam memberikan putusan. memang tidak ada yang dapat mengatakan hakim benar atau salah dalam memberikan putusan, hanya saja teramat disayangkan jika waktu yang membuktikan kesalahan vonisnya.
Hal ini mendasari pemikiran saya bahwa pentingnya nyawa seorang terpidana yang menjadi 'korban' kesalahan vonis pengadilan. sebagai contoh umum Eksekusi mati dari Carlos DeLuna oleh Pengadilan Texas, Amerika Serikat (AS) pada 1989 silam berbuntut panjang. Ternyata lewat penyelidikan independen ditemukan bahwa pihak pengadilan salah memvonis hukuman mati atas DeLuna. lebih ironis bahwa pembuktian ditemukan setelah berpuluh-puluh tahun eksekusi mati. Dan di Inggris Derek Bentley dieksekusi mati pada tahun 1953 saat ia berusia 19 tahun karena dituduh membunuh polisi dalam upaya perampokan. Tapi setelah 45 tahun ia dihukum mati kasusnya baru terpecahkan bahwa sebenarnya pembunuh polisi tersebut adalah Christopher Craig teman dari Derek Bently yang melakukan pembunuhan atas dasar untuk membela diri.

Di Indonesia ada Sengkon dan Karta yang sangat heboh pada yahun 1974, dan Banyak kasus yang telah dijatuhi hukuman mati seperti diantaranya:
  • kasus Tibo, cs. Dalam pelaksanaan vonis hukuman mati tersebut banyak terjadi pro-kontra di dalam masyarakat. Dalam masyarakat banyak pihak yang menentang pelaksanaan eksekusi mati. Bahkan untuk kasus Tibo ribuan umat beragama dari berbagai daerah menuntut pembatalan eksekusi mati. setelah 12 kali eksekusi mati dibatalkan, tahun 2006 baru dapat dilaksanakan.
  • Seperti diberitakan, Ruben Pata Sambo dan anaknya, Markus, merupakan korban salah tangkap dan divonis mati oleh pengadilan. Ayah-anak ini dituduh melakukan pembunuhan berencana terhadap empat anggota keluarga Andrias di Tana Toraja pada Desember 2005 lalu.
    Ruben dan Markus ditangkap anggota Polres Tana Toraja dan dipaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya. Bahkan, keduanya mengaku kerap mendapat penyiksaan dari aparat kepolisian dan ditelanjangi di Markas Polres Tana Toraja. Salah tangkap itu menyusul pengembangan kasus beberapa saat setelah keduanya divonis mati. Petugas Polres Tanah Toraja memangkap pelaku lain atas kasus sama. Dia adalah Agustinus terpidana di Lapas Makassar, yang juga dijatuhi hukuman mati.
  • Imam Hambali dan David Eko masing-masing divonis 17 dan 12 tahun penjara akibat dituduh membunuh sesosok mayat yang diklaim sebagai Asrori. Maman Sugianto, terdakwa lain, tengah menjalani masa persidangan untuk perkara yang sama. Belakangan terungkap, mayat yang ditemukan polisi di kawasan perkebunan tebu dan mengantarkan Hambali, Eko dan Sugianto ke balik jeruji besi bukanlah Asrori. Mayat Asrori malah ditemukan di Jombang Jawa Timur sebagai bagian dari korban pembunuhan yang dilakukan Ferry Idham Henyaksah alias Ryan (Ryan Jombang) Kasus ini mencuat setelah Ryan memberikan pengakuan telah membunuh Asrori. Bayangkan jika kasus kasus diatas telah mencapai vonis yang inkrah dan dilakukan eksekusi, apakah harus menunggu berpuluh-puluh tahun untuk mendapatkan bukti-bukti baru, apakah nyawa yang dihukum mati dapat dibebaskan seperti terpidana didalam penjara? tentu hal tersebut tidak setimpal bilamana dikemudian waktu ditemukan novum yang dapat membebaskan orang dari dakwaannya.


     Kesimpulan 

    Segala upaya penindakan hukum pidana bertujuan memberikan efek jera, namun pada penegakan sistem hukum di Indonesia masih kerap terjadi kesalahan pada aparat penegaknya sendiri, sehingga jeratan hukuman mati tidak sesuai. Dilain sisi pemidanaan hukuman mati dapat menimbulkan pemahaman ideologi yang salah terus berkembang, gembong teroris bisa saja mati, tapi tidak demikian dengan ideologinya. Sehingga yang perlu diberantas adalah ideologi pelakunya, bukan pelakunya.

1 komentar:

  1. Klo ane sih setuju aja klo dia salah nya membunuh orang, yaaa nyawa di bayar nyawa simple :)

    BalasHapus